Sabtu, 14 November 2009

WILAYAH LAUT INDONESIA

Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957 mendasari perjuangan bangsa Indonesia untuk menjadi negara kepulauan (Archipelagic State) sebagai dasar dari konsepsi kewilayahan dalam rangka mewujudkan Wawasan Nusantara. Deklarasi Djuanda merupakan pernyataan yang dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia mengenai wilayah perairan Indonesia yang isinya antara lain menyatakan bahwa semua perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau yang masuk daratan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah bagian-bagian yang tak terpisahkan dari wilayah yurisdiksi Republik Indonesia.

Konsep Indonesia sebagai negara kepulauan (Archipelagic State) diakui dunia setelah United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) yang disahkan pada tanggal 10 Desember 1982 dan Indonesia telah meratifikasinya dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985. Pengakuan Indonesia sebagai negara kepulauan tersebut merupakan anugerah besar bagi bangsa Indonesia karena perairan yurisdiksi nasional Republik Indonesia bertambah luas secara luar biasa, luas laut Indonesia meliputi 2/3 dari seluruh luas wilayah negara. (Luas perairan menjadi suatu kesatuan dengan daratan). Wilayah perairan yang demikian luas menjadi beban tanggung jawab yang besar dalam mengelola dan mengamankannya. Untuk mengamankan laut yang begitu luas, diperlukan kekuatan dan kemampuan dibidang maritim yang besar, kuat dan modern. Untuk mengelola sumberdaya yang terkandung di dalamnya seperti : ikan, koral, mineral, biota laut, d1l diperlukan SDM, peralatan dan teknologi kelautan yang modem serta dana yang sangat besar.
Untuk dua hal tersebut (pengamanan dan pengelolaan), diperlukan batas laut yang pasti dan tegas sebagai “pagar” negara nusantara Indonesia dalam rangka melindungi, mengamankan dan menegakkan kedaulatan sebagai negara kepulauan terbesar di dunia. Penegakan kedaulatan dan pengamanan wilayah perairan bangsa dapat dilakukan dan dipertanggung-jawabkan pada suatu negara yang batas-batasnya sudah pasti (diakui oleh kedua negara yang berbatasan dan untuk laut lepas sesuai dengan UNCLOS 1982) dan telah dilaporkan/didepositkan di PBB untuk mendapatkan pengakuan Internasional. Semakin merebaknya gangguan dan ancaman di perairan nusantara akhir-akhir ini, semakin dirasakan pentingnya penentuan (penegasan) batas-batas laut.


POTENSI KELAUTAN INDONESIA
Sebagai negara maritim, Indonesia menyimpan potensi kekayaan sumber daya kelautan yang belum dieksplorasi dan dieksploitasi secara optimal, bahkan sebagian belum diketahui potensi yang sebenarnya untuk itu perlu data yang lengkap, akurat dan up to date sehingga laut sebagai sumber daya alternatif yang dapat diperhitungkan pada masa mendatang akan semakin berkembang. Dengan luas wilayah maritim. Indonesia yang diperkirakan mencapai 5,8 juta km2 (dari perhitungan secara kartografis) dan dengan kekayaan terkandung di dalamnya yang meliputi :
a) Kehidupan sekitar 28.000 spesies flora, 350 spesies fauna dan 110.000 spesies mikroba,
b) 600 spesies terumbu karang dan 40 genera, jauh lebih kaya dibandingkan Laut Merah yang hanya memiliki sekitar 40 spesies dari 7 genera,
c) Sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources), termasuk ikan, udang, moluska, kerang mutiara, kepiting, rumput laut, mangrove/hutan bakau, hewan karang dan biota laut lainnya,
d) Sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui (non renewable resources), seperti minyak bumi, gas alam, bauksit, timah, bijih besi, mangan, fosfor dan mineral lainnya,
e) Energi kelautan seperti : Energi gelombang, pasang surut, angin, dan Ocean Thermal Energy Conversion,
f) Jasa lingkungan (environmental services) termasuk tempat-tempat yang cocok untuk lokasi pariwisata dan rekreasi seperti pantai yang indah, perairan berterumbu karang yang kaya ragam biota karang, media transportasi dan komunikasi, pengatur iklim dan penampung limbah,
g) Sudah terbangunnya titik-titik dasar di sepanjang pantai pada posisi terluar dari pulau-pulau terluar sebagai titik-titik untuk menarik garis pangkal darimana pengukuran batas laut berpangkal.
h) Sudah terwujudnya beberapa kesepakatan/pejanjian batas laut yaitu : dengan India, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina, Australia dan PNG.
Sejumlah potensi tersebut di atas merupakan sumberdaya yang sangat potensial dikelola, untuk kesejahteraan rakyat. Di era krisis ekonomi yang masih belum dapat diatasi sepenuhnya hingga saat ini, seharusnya potensi laut yang besar tersebut menjadi solusi. Namun karena selama ini kita telalu fokus kepada sumberdaya yang ada di darat, maka sumberdaya laut yang besar menjadi tersia-siakan. Keadaan inilah yang memberikan peluang kepada bangsa-bangsa lain untuk mengeksploitasi laut kita dengan leluasa.

KENDALA KELAUTAN
Disadari bahwa penanganan bidang kelautan di Indonesia hingga saat ini masih memprihatinkan, antara lain:
a) Kehancuran sebagian terumbu karang yang memilili fungsi ekologi dan ekonomi yang hanya menyisakan sekitar 28%, rawa pantai dan hutan mangrove (bakau) yang merupakan habitat ikan dan penyekat abrasi laut, dari 4 (empat) jutaan hektar telah menyusut menjadi 2 (dua) jutaan hektar,
b) Pencurian ikan oleh orang asing menunjukkan kerugian sekitar 1/2 (setengah) milyar dollar sampai 4 (empat) milyar dollar per tahun,
c) Sumberdaya manusia (SDM) di bidang kelautan yang sangat minim baik di bidang perencanaan, pengelolaan, maupun hukum dan pengamanan kelautan,
d) Sebagian besar (85%) kapal-kapal yang beroperasi di perairan Indonesia menggunakan modal asing dan selebihnya adalah modal nasional. Hal ini juga berdampak pada sekitar 50% pelayaran antar pulau dikuasai oleh pihak asing,
e) Minimnya jumlah dan kualitas sarana dan prasarana (kapal, peralatan, dll.) menyebabkan seringkali aparat keamanan laut (Kamla) kita tidak berdaya menghadapi kapal-kapal pencuri ikan, sehingga hanya sebagian kecil yang dapat ditangkap,
f) Pemanfaatan teknologi maju melalui pengamatan satelit dalam rangka pengawasan dan pengamanan laut (Waspam) masih sangat terbatas dan belum terintegrasi secara permanen,
g) Eksplorasi, eksploitasi dan pembangunan di sepanjang pantai dan perairan telah menyebabkan pencemaran laut akibat pembuangan limbah dari proses kegiatan tersebut di atas, sehingga telah mendegradasi habitat pesisir dan laut,
h) Maraknya kasus pembajakan laut khususnya di Selat Malaka dan alur lintas kepulauan Indonesia (ALKI) telah menimbulkan konflik yang mengundang intervensi negara maju (USA dan Jepang).

PERMASALAHAN BATAS LAUT
Beberapa Jenis Batas Laut dan Pengaruhnya terhadap Pertahanan Keamanan Negara 3
Menurut ketentuan Hukum Laut Internasional (Hukla 1982), ada enam jenis batas laut, yaitu :
a) Batas Perairan Pedalaman (BPP); Perairan pedalarnan di dalam garis batas yang ditentukan oleh hukum yang berlaku di situ praktis sama dengan di wilayah darat, dimana NKRI mempunyai kedaulatan penuh, kapal-kapal asing tidak berhak lewat. Perairan pedalaman tersebut dibatasi oleh garis penutup (closing lines) sesuai ketentuan Hukla 1982. Namun sayang Indonesia hingga saat ini belum memanfaatkan haknya untuk menarik closing lines tersebut.
b) Batas Perairan Nusantara/Kepulauan (BPN/BPK); Di perairan ini Indonesia mempunyai hak kedaulatan wilayah penuh tetapi kapal/pelayaran asing masih mempunyai “hak melintas” (innocent passage) melalui prinsip alur laut kepulauan. Perairan nusantara ini dikelilingi oleh garis-garis dasar yang lurus (base lines) yang menghubungkan titik-titik pangkal (base points) dan bagian terluar pulau-pulau terluar di seluruh Indonesia. Base lines yang menghubungkan base points dibuat berdasarkan UU Nomor 4 Tahun 1960 dan telah didepositkan di PBB. Undang-undang tersebut telah diperbaharui dengan UU Nomor 6 Tahun 1996 namun isinya justru mencabut base points dan base lines yang telah ada.
c) Batas Laut Wilayah (BLW); Batas laut ini ditarik dari base lines sejauh 12 mil, tetapi BLW yang pasti/tegas juga belum ada, karena BLW tidak dapat ditentukan sepihak. Pada laut wilayah, Indonesia masih mempunyai hak mengelola dan yurisdiksi kedaulatan wilayah penuh.
d) Batas Perairan Zona Tambahan (BPZT); Garis BPZT ini ditarik 12 mil dari garis BLW. Karena BLW nya belum pasti, maka BPZT nya juga belum dibuat
e) Batas Zona Ekonomi Eksklusif (BZEE); Garis BZEE ditarik sejauh/selebar 200 mil dari base lines. Di perairan ZEE ini, Indonesia mempunyai hak berdaulat atas kekayaan alam di situ dan kewenangan melindungi lingkungan, mengatur penelitian ilmiah maritim dan pemberian ijin kepada pihak asing yang akan melakukan penelitian ilmiah dan atau mendirikan bangunan (instalasi, pulau buatan, d1l.). BZEE juga belum memiliki keabsahan/pengakuan yang pasti.
Batas Landas Kontinen (BLK); Landas Kontinen adalah ujung kaki benua atau lanjutan daratan yang tenggelam, garis BLK ditarik dari landas kontinen secara verfikal (di permukaan laut) sampai 200 mil dari base lines atau maksimal 350 mil dari base lines.
Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa di luar batas-batas laut yang telah disepakati secara bilateral/trilateral, batas laut yang lainnya sebagian besar belum tegas/pasti. Keterlambatan penentuan batas perairan secara pasti merupakan suatu kerugian bagi Indonesia. Hal ini sekaligus menjadi tantangan untuk segera menuntaskannya, Namun bilamana pada tahun 2009 belum dilakukan penyerahan batas laut ke PBB dengan mendepositkan peta batas laut maka Indonesia akan kehilangan kesempatan atau tertundanya pengakuan dunia Internasional atas hak-haknya sebagai negara maritim yang dijamin hukum laut Internasional/UNCLOS 1982(Tahun 2009 adalah limit waktu dari PBB untuk penentuan batas laut).

NILAI STRATEGIS BATAS LAUT/PERAIRAN INDONESIA
Zona perbatasan laut Indonesia mengandung banyak kerawanan dan sensitivitas karena berbagai faktor, baik yang bersifat permanen maupun yang sementara, antara lain:

a) Letaknya yang secara geografis di persimpangan jalan antara Samudera Pasifik dengan Samudera Hindia dan antara Benua Asia dengan Benua Australia, karena itu merupakan daerah yang sering dilewati pelayaran Internasional,
b) Struktur negerinya yang berbentuk kepulauan dengan panjang pantai lebih dari 80.000 km (terpanjang di dunia) yang pada umumnya terbuka di kawasan sekitar 8 (delapan) juta km2 yang tersebar secara tidak teratur yang didiami oleh penduduk secara tidak merata bahkan masih banyak pulau-pulau yang tidak berpenduduk.
c) Isu-isu globalisasi terutama yang menyangkut demokratisasi hak asasi manusia, liberalisasi ekonomi dan informasi telah meningkatkan kerawanan-kerawanan di daerah perbatasan.
Faktor-faktor tersebut di atas menegaskan penting dan strategisnya kepastian batas laut karena tanpa itu menegakkan hukum di laut tidak memiliki landasan yang kuat dan akan selalu mengundang kontroversi yang dapat menimbulkan konflik di perairan perbatasan negara. Hingga saat ini masih banyak batas laut yang belum disepakati antara kita dan negara tetangga yang berbatasan. Sementara itu batas-batas laut negara yang sudah dirundingkan dan disepakati secara bilateral, belum memiliki pengakuan secara internasional dikarenakan batas-batas laut tersebut belum didepositkan di PBB.
Di luar batas-batas laut yang telah disepakati sesungguhnya masih ada beberapa segmen batas laut yang harus dirundingkan. Tuntutan adanya, kesepakatan baru tersebut sejalan dengan ditemukannya sumberdaya laut bernilai ekonomi tinggi seperti minyak dan gas bumi serta barang tambang berharga lainnya.
Ada beberapa pulau yang berada pada lokasi strategis pada sekitar perbatasan negara, yang menjadi kekhawatiran banyak pihak atas keamanan dan keselamatannya dari penguasaan asing/negara tetangga. Kekhawatiran tersebut didasarkan atas pembinaan yang sangat minim, sehingga penduduk yang ada di pulau-pulau tersebut lebih banyak berhubungan dengan negara tetangga, menggunakan uang dan bahasa negara tersebut, mereka berusaha dan bergaul dengan penduduk negara tetangga. Mereka juga lebih banyak mendengarkan siaran radio dan melihat siaran TV dari negara itu sehingga secara tidak langsung penduduk pulau-pulau tersebut ada dalam suasana penguasaan Negara tetangga. Pulau-pulau yang dimaksud adalah: 5 P. Rondo di perbatasan India, P. Berhala di perbatasan Malaysia,P. Nipah di perbatasan Singapura,P. Sekatung di perbatasan Vietnam, P. Marore, P. Mararnpit, P. Miangas di perbatasan Filipina, P. Fani, P. Fanildo, P. Bras di perbatasan Palau, P. Batek di perbatasan timor Leste, P. Mangudu di perbatasan Australia.
Sesungguhnya kekhawatiran atas hilangnya pulau-pulau tersebut dari kekuasaan NKRI terlalu berlebihan, namun hal ini dapat dipahami dikarenakan pengalaman hilangnya P. Sipadan dan P. Ligitan yang jatuh ke tangan Malaysia. Pulau-pulau tersebut di atas sesungguhnya sudah memiliki dasar hukum yang kepemilikannya bagi negara kita ditentukan dengan Undang-Undang dan atau perjanjian secara bilateral. Bahkan kita telah membangun titik-titik dasar pada pulau-pulau tersebut sebagai bukti yang menyatakan pulau-pulau tersebut . Tetapi menurut Frederick Ratzel, batas negara dapat bergeser sewaktu-waktu akibat pengaruh perkembangan kemampuan dan kekuatan negara yang berbatasan.6 Penduduk suatu negara yang secara sosial, ekonomi dan budaya sudah berorientasi kepada pihak negara tetangga, secara “de facto” komunitas tersebut dapat dikatakan sudah hilang keberadaan nya dan ada dalam ancaman potensial. Suatu saat daerah perbatasan tersebut dapat dieksploitasi oleh negara tetangga untuk menjadi bagian dari negara itu.7 Belajar dari pengalaman kekalahan Indonesia di Mahkamah Internasional dalam mempertahankan P. Sipadan dan P. Ligitan dikarenakan “kehadiran” Malaysia di kedua pulau tersebut lebih intensif daripada Indonesia. Soal intensitas dan pendudukan (continuous presence and effective occupation), menjadi salah satu pertimbangan yang menentukan dalam keputusan sidang penentuan kepemilikan kedua pulau tersebut di Mahkamah Internasional. Oleh karena itu membiarkan pulau-pulau kosong yang ada di daerah perbatasan yang status kepemilikan nya belum tegas/pasti adalah sangat rawan. Pendudukan beberapa pulau kecil Indonesia yang diduduki pihak asing tidak dapat dipandang remeh, karena boleh jadi hal tersebut merupakan suatu strategi pihak asing untuk mencoba “menggoyang” integritas kedaulatan wilayah dan kredibilitas NKRI dalam rangka mencapai sasaran lebih lanjut “menggerogoti” dan “mencaplok” sebagian dari wilayah NKRI.
Mengorbankan pembinaan masyarakat wilayah perbatasan sama artinya dengan menelantarkannya karena hal ini dapat memperlemah kemampuan kita dalam memelihara dan menegakkan integritas kedaulatan dan yurisdiksi wilayah negara. Kelemahan di bidang ini ditambah lagi dengan masih banyaknya garis/zona batas yang belum pasti atau sekalipun sudah disepakati, tetapi belum memiliki legalitas internasional. Untuk menyelesaikan pemetaan batas laut sebelum tahun 2009 harus menjadi perhatian dan tantangan bersama dari pihak-pihak yang kompeten (DKP, Departemen ESDM, Dishidrosal, Bakosurtanal, dll.) dalam akselerasi penyelesaiannya sampai tahap akhir (mendepositkannya di PBB) guna memperoleh pengakuan internasional. Dengan kerjasama lintas sektoral diharapkan dapat mengatasi kendala termasuk kendala finansial.
Dengan adanya batas perairan/laut yang sudah pasti/legal diakui secara internasional akan berdampak positif terhadap kinerja aparat Kamla dalam melaksanakan tugasnya. Mereka tidak akan ragu-ragu dalam menindak tegas semua pelanggaran dan perbuatan kriminal yang terjadi dalam wilayah yurisdiksi perairan NKRI. Dengan peta batas wilayah laut yang legal dapat menjadi sarana penegakkan hukum yang efektif di laut. Demikian juga dengan semua stake holder yang berkepentingan dengan wilayah perairan seperti Dephan, DKP, Dep. Pariwisata, Dephub, Depdiknas, Dep, ESDM, KNLH, TNI-AL, PolAir, d1l. dapat meningkatkan peran aktifnya dalam pengelolaan dan penanggulangan kriminalitas di perairan, bilamana batas laut sebagai “bingkai’ wilayah negara sudah jelas dan pasti. Dengan adanya batas laut yang pasti/tegas lebih memungkinkan negara tetangga untuk diajak berunding guna menyelesaika masalah yang terjadi di Zona batas perairan. Pelanggaran batas dan Trans Border Crime juga akan berkurang bilamana ada kepastian batas laut.